Berbagai kekacauan yang terjadi akibat radikalisme terorisme, jangan selalu dikaitkan dengan agama, khususnya Islam. Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof. Dr. Komarudin Hidayat berpendapat, tanpa Islam pun dunia tetap saja kacau. Di beberapa peristiwa dunia, seperti Perang Dunia I dan II, atau konflik agama di dunia barat lain, justru Islam tidak berperan.
Ia menegaskan, pada tataran intelektual dan ilmuwan sudah diakui bahwa tidak ada korelasi utama antara Islam dan terorisme. “Gerakan kelompok radikalisme terorisme di berbagai negara juga semakin berkurang. Data yang ada menunjukkan pula bahwa agama tidak berdiri sendiri dalam gerakan radikalisme terorisme tersebut," kata Prof. Komarudin dalam seri Webinar Nasional yang digelar Moya Institute yang bertema “Radikalisme: Adakah Akarnya di Indonesia?” Jumat (23/12/2022). Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, radikalisme terorisme muncul tidak selalu berakar agama, tetapi bisa juga berlandaskan ideologis dan politik lain.
Kenyataan demikian juga muncul di berbagai negara di dunia. “Upaya mengaitkan agama dengan terorisme itu harus mulai dikoreksi. Hanya dalam konteks Indonesia ditengarai seakan ada skenario karena pada aksi aksi tertentu, pasca aksi selalu ditemukan dokumen yang berkaitan dengan teologis, yang kemudian mengalihkan perhatian masyarakat dari isu penting lainnya. Hal seperti itu membuat masyarakat jemu dan bersikap apatis terhadap kasus kasus radikalisme terorisme, seperti pada kasus bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar. Tidak muncul rasa kepanikan yang dahsyat atas kasus tersebut,” ujar Mu"ti. Oleh sebab itu, Mu'ti mengimbau agar penanganan tindakan radikalisme terorisme perlu diubah menjadi pendekatan semesta, yang lebih partisipastif melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan sifatnya persuasif, tidak selalu harus mengikuti pola militeristik.
Diketahui, Indonesia beberapa kali diguncang aksi radikalisme terorisme, yang dilakukan jaringan kelompok berbalut ideologi agama maupun perorangan atau lone wolf, seperti yang terjadi di Polsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat baru baru ini oleh seorang mantan napiter. Sementara itu, pemerhati isu strategi dan politik global, Imron Cotan menjelaskan, akibat penyerangan Twin Tower tahun 2001 di Amerika Serikat membentuk perspektif yang mengkaitkan Islam dengan radikalisme terorisme. “Terorisme itu sebenarnya tidak spesifik Islam, namun akibat peristiwa Twin Tower itu seolah olah Islam saja yang dikaitkan dengan radikalisme terorisme. Seluruh agama secara faktual tercatat digunakan sebagai alasan untuk menopang tindakan kekerasan tersebut. Jadi Islam tidak perlu merasa tersudutkan,” ujar Imron.
Lebih lanjut Imron menyampaikan bahwa akar radikalisme terorisme akan selalu ada dalam kehidupan, akibat adanya kebodohan dan kemiskinan, sehingga dengan iming iming kebahagiaan sorgawi segelintir orang terdorong untuk terlibat dalam gerakan radikalisme terorisme tersebut. "Harus diambil langkah langkah semesta, agar masyarakat berkesimpulan bahwa tindakan menyimpang tersebut tidak relevan di NKRI, yang berbasis Pancasila dan UUD 1945," ujar Imron. Politikus Reformasi Mahfudz Sidik mengemukakan, secara data gerakan radikalisme terorisme mulai menurun, namun tetap harus diwaspadai agar tidak tumbuh lagi.
“Sangat mungkin negara negara di dunia yang sedang fokus pada kontestasi politik global, sehingga abaikan dorongan baru untuk menghidupkan kembali akar akar radikalisme terorisme. Itulah yang harus diwaspadai,” papar Sekjen Partai Gelora Indonesia itu. Menurut Mahfudz, tingkat pendidikan dan radikalisasi paling terlihat pengaruhnya pada masyarakat ekonomi tingkat bawah. Hal ini dilatari oleh kelaparan yang dirasakan, yang kemudian diluapkan dengan kemarahan berbasis SARA, tanpa pemahaman yang utuh. Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto dalam kesempatan yang sama menyebutkan, ancaman radikalisme terorisme tidak akan pernah hilang seiring dinamika politik global. Fakta fakta kemunculan radikalisme terorisme tetap harus menjadi perhatian publik dan pemerintah.